BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kusta
menyebar luas ke seluruh dunia, dengan sebagian besar kasus terdapat di daerah
tropis dan subtropis, tetapi dengan adanya perpindaham penduduk maka penyakit
ini bisa menyerang di mana saja. Pada umumnya penyakit kusta terdapat di negara
yang sedang berkembang, dan sebagian besar penderitanya adalah dari golongan
ekonomi lemah. Hal ini sebagai akibat keterbatasan kemampuan negara tersebut
dalam memberikan pelayanan yang memadai di bidang kesehatan, pendidikan, kesejahteraan
sosial ekonomi pada masyarakat. Hal ini menyebabkan penyakit kusta masih
merupakan masalah kesehatan masyarakat, disamping besarnya masalah di bidang
medis juga masalah sosial yang ditimbulkan oleh penyakit ini memerlukan
perhatian yang serius.
Kusta
kebanyakan ditemukan di Afrika Tengan dan Asia Tenggara, dengan angka kejadian
di atas 10 per 1.000. hal ini disebabkan meningkatnya mobilitas penduduk,
misalnya imigrasi, pengungsi dan sebagainya. Sebagaimana yang dilaporkan oleh
WHO pada 115 negara dan teritori pada 2006 dan diterbitkan di Weekly
Epidemiological Record, prevalensi terdaftar kusta pada awal tahun 2006
adalah 219.826 kasus..
Di
Indonesia ditemukan 14.697 penderita baru. Diantaranya 11.267 tipe MB (76,7%)
dan 1.499 penderita anak (10,1%). Selama tahun 2001 dan 2002 ditemukan 14.061
dan 14.716 kasus baru. Diantara kasus ini 10.768 dan 11.132 penderita tipe MB
(76,6% dan 75,5%). Sedangkan jumlah penderita anak sebanyak 1.423 kasus (10,0%)
pada tahun 2001 dan 1.305 kasus (8,9%) pada tahun 2002.
Permasalahan
penyakit kusta bila dikaji secara mendalam merupakan permasalahan yang sangat
kompleks bukan hanya dari segi medis tetapi juga menyangkut masalah sosial
ekonomi, budaya dan ketahanan Nasional. Dalam keadaan ini warga masyarakat
berupaya menghindari penderita. Sebagai akibat dari masalah-masalah tersebut
akan mempunyai efek atau pengaruh terhadap kehidupan bangsa dan negara, karena
masalah-masalah tersebut dapat mengakibatkan penderita kusta menjadi tuna
sosial, tuna wisma, tuna karya dan ada kemungkinan mengarah untuk melakukan
kejahatan atau gangguan di lingkungan masyarakat. Hal ini disebabkan rasa
takut, malu dan isolasi sosial berkaitan dengan penyakit ini. Laporan tentang kusta
lebih kecil daripada sebenarnya, dan beberapa negara enggan untuk melaporkan
angka kejadian penderita kusta sehingga jumlah yang sebenarnya tidak diketahui.
Melihat besarnya manifestasi penyakit ini maka perlu dilakukan suatu langkah
penanggulangan penyakit tersebut. Program pemberantasan penyakit menular
bertujuan untuk mencegah terjadinya penyakit, menurunkan angka kesakitan dan
angka kematian serta mencegah akibat buruk lebih lanjut sehingga memungkinkan
tidak lagi menjadi masalah kesehatan masyarakat. Masalah yang dimaksud bukan
saja dari segi medis tetapi meluas sampai masalah sosial ekonomi, budaya,
keamanan dan ketahanan sosial.
Berdasarkan
dari fenomena diatas maka kami mengangkat masalah upaya penanggulangan penyakit
kusta sebagai judul makalah dengan harapan dapat lebih memahami penyakit kusta
dan penanggulangannya.
B. Rumusan Masalah
Dalam
makalah ini kami mengangkat beberapa permasalahan yang terkait dengan
Penanggulangan penyakit kusta, yaitu sebagai berikut :
1. Bagaimana gambaran umum penyakit
kusta?
2. Apa etiologi kusta?
3. Bagaimana klasifikasinya?
4. Bagaimana patogenesisnya?
5. Apa saja bentuk-bentuk dan gejala
penyakit kusta?
6. Bagaimana komplikasinya?
7. Bagaimana cara penatalaksanaanya?
8. Bagaimana rehabilitasinya orang yang
mengalami kusta?
9. Bagaimana upaya pencegahan penyakit
kusta?
C. Tujuan Penulisan
Penulisan makalah ini diharapkan
dapat mencapai beberapa tujuan dalam memahami upaya penanggulangan penyakit
kusta, yakni sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui gambaran umum
penyakit kusta
2. Untuk mengetahui apa saja etiologi
kusta
3. Untuk mengetahui klasifikasi kusta
4. Untuk mengetahui manifestasi kusta
5. Untuk mengetahui bagaimana
patogenesis penyakit kusta
6. Untuk mengetahui bagaimana
peatalaksanaan penyakit kusta
7. Untuk mengetahui bagaimana upaya
pencegahan penyakit kusta
8. Untuk mengetahui bagaimana cara
rehabilitasinya
9. Untuk mengetahui bagaimanaa
komplikasinya
BAB II
PEMBAHASAN
A. Konsep Dasar Penyakit
1. Definisi
Kusta (lepra atau morbus Hansen)
adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi Mycobacterium leprae (M.
leprae) penyakit ini menular yang menahun yang menyerang saraf
perifer, kulit dan jaringan tubuh lainnya.
Penyakit kusta adalah penyakit
menular yang menahun yang menyerang saraf perifer, kulit dan jaringan tubuh
lainnya.
Penyakit kusta adalah suatu penyakit
kronis menular yang disebabkan oleh infeksi Mycobacterium leprae. Penyakit ini
terutama menyerang pada masyarakat dinegara-negara berkembang dan menimbulkan
dampak psikologis, sosial dan ekonomi.
Penyakit
kusta adalah penyakit menular yang menahun yang menyerang saraf perifer, kulit
dan jaringan tubuh lainnya dengan reaksi episode akut yang terjadi pada
penderita kusta yang masih aktiv disebabkan suatu interaksi antara
bagian-bagian dari kuman kusta yang telah mati dengan zat yang telah tertimbun
di dalam darah penderita dan cairan penderita.
2.
Etiologi
Mycrobacterium Leprae atau kuman
Hansen adalah kuman penyebab penyakit kusta, Kuman ini bersifat tahan asam
berbentuk batang dengan ukuran 1,8 micron, lebar 0,2-0,5 micron. Biasanya ada
yang berkelompok dan ada yang tersebar satu-satu, hidup dalam sel terutama
jaringan yang bersuhu dingin dan tidak dapat di kultur dalam media buatan.
Kuman ini dapat mengakibatkan infeksi sistemik pada binatang Armadillo.
3.
Manifestasi Klinis
Diagnosis
didasarkan pada gambaran klinis, bakterioskopis, dan histopatologis. Menurut
WHO (1995), diagnosis kusta ditegakkan bila terdapat satu dari tanda kardinal
berikut :
a. Adanya lesi
kulit yang khas dan kehilangan sensibilitas.
Lesi kulit
dapat tunggal atau multipel, biasanya hipopigmentasi tetapi kadang-kadang lesi
kemerahan atau berwarna tembaga. Lesi dapat bervariasi tetapi umumnya berupa
makula, papul, atau nodul.
b. Kehilangan
sensibilitas pada lesi kulit merupakan gambaran khas. Kerusakan saraf terutama
saraf tepi, bermanifestasi sebagai kehilangan sensibilitas kulit dan kelemahan
otot. Penebalan saraf tepi saja tanpa disertai kehilangan sensibilitas dan/atau
kelemahan otot juga merupakan tanda kusta.
c. Pada beberapa
kasus ditemukan basil tahan asam dari kerokan jaringan kulit. Bila ragu-ragu
maka dianggap sebagai kasus dicurigai dan diperiksa ulangan setiap 3 bulan
sampai ditegakkan diagnosis kusta atau penyakit lain.
4. Anatomi
Fisiologi
Kulit terdiri dari tiga lapisan
yaitu epidermis, dermis dan subkutan. Kulit merupakan organ tubuh terbesar
membentuk 15 % berat badan total total. Kulit adalah lapisan jaringan yang
terdaoat pada bagian luar yang menutupi dan melindungi permukaan tubuh.
Epidermis merupakan struktur lapisan
kulit terluar, lapisan kulit epidermis terus-terusan mengalami mitosis, dan
berganti dengan yang baru sekitar 30 hari. Epidermis mengandung
reseptor-reseptor sensorik untuk sentuhan, suhu, getaran dan nyeri. Komponen
utama epidermis adalah protein keratin, yang dihasilkan oleh sel-sel yang
disebit keratinosit. Melanosit merupakan sel-sel khusus epidermis yang terutama
terlibat dalam produksi pigmen melanin yang mewarnai kulit dan rmbut.
Dipengaruhi oleh hormone hipofisis anterior yaitu melanosyte stimulating
hormone (MSH). Sel langerhans adalah sel imun yang terdapat diseluruh
epidermis.
Dermis merupakan lapisan kulit
dibawah epidermis yang membentuk bagian terbesar kulit dengan memberikan
kekuatan dan struktur pada kulit, lapisan tersusun dari dua lapisan yaitu papilaris
retikularis. Dermis juga tersusun dari pembuluh darah serta limfe, serabut
saraf, kelenjar keringat serta sebasea dan akar rambut, dermis sering disebut
kulit sejati.
Jaringan subkutan merupakan lapisan
kulit paling dalam. Lapisan ini berupan jaringan adipose (lemak) yang member
bantalan antara lapisan kulit dan struktur internal seperti otot dan tulang.
Jaringan subkutan dan jaringan lemak yang tertimbun merupankan factor penting
pengaturan suhu.
5.
Patofisiologi
Setelah M. leprae masuk kedalam
tubuh, perkembangan penyakit kusta bergantung pada kerentanan seseorang. Respon
tubuh terhadap masa tunas dilampaui tergantung pada derajat sistem immunitas
seluler (cellular mediated immune) pasien. Kalau sistem immunitas seluler
tinggi, penyakit berkembang kearah tuberkuloid dan bila rendah, berkembang
kearah lepromatosa.
M. Leprae ( Parasis Obligat
Intraseluler ) terutama terdapat pada sel macrofag sekitar pembuluh darah
superior pada dermis atau sel Schwann jaringan saraf, bila kuman masuk tubuh,
tubuh bereaksi mengeluarkan macrofag ( berasal dari monosit darah, sel mn,
histiosit ) untuk memfagosit.
Teori yang paling banyak digunakan
adalah penularan melalui kontak/sentuhan yang berlangsung lama, namun berbagai
penelitian mutakhir mengarah pada droplet infection yaitu penularan melalui
selaput lendir pada saluran napas. M. leprae tidak dapat bergerak sendiri dan
tidak menghasilkan racun yang dapat merusak kulit, sedangkan ukuran fisiknya
yang lebih besar dari pada pori-pori kulit. Oleh karena itu, M. leprae yang
karena sesuatu hal menempel pada kulit, tidak dapat menembus kulit jika tidak
ada luka padakulit.
Microbacterium
Leprae
Saluran napas Kontak Langsung Genetik
(droplet infection)
Masuk kedalam
tubuh
Respon sistim
imun Tergantung sistim imunnitas
Respon imun rendah
Tuberkuloid Lepramatosa
Hipopigmentasi/kulit kering Masa inkubasi 3-6 minggu
dengan skuama/lesi pada kulit
MK : Timbul
lesi Kerusakan
Integritas
(nodul, papul, macula)
Kulit
MK : Kerusakan saraf
Gangguan
Rasa Nyaman :
Nyeri
Kelemahan otot Kehilangan
sensabilitas
MK
: MK
:
Intoleransi
Aktivitas Gangguan Konsep
Diri
6.
Klasifikasi Kusta
Klasifikasi kusta
berdasarkan gambaran klinis, bakteriologik, histopatologik, dan status imun
penderita berdasarkan Ridley dan Joping ada
5 tipe, yaitu :
a. TT (tuberkoloid)
Lesi berupa makula hipo pigmantasi/eutematosa dengan
permukaan kering dan kadang dengan skuama di atasnya. Jumlah biasanya yang
satudenga yang besar bervariasi. Gejala berupa gangguan sensasibilitas,
pertumbuhan langsung dan sekresi kelenjar keringat. BTA ( - ) dan uji lepramin ( + )
kuat.
b. BT (borderkine
tuberkoloid)
BT : Lesi berupa makula/infiltrat eritematosa dengan
permukaan kering bengan jumlah 1-4 buah, gangguan sensibilitas ( + ).
c.
BB (mid borderline)
Lesi berupa mamakula/infiltrat eritematosa permukaan agak
mengkilat. Gambaran khas lesi ”punched out” dengan infiltrat eritematosa batas
tegas pada tepi sebelah dalam dan tidak begitu jelas pada tepi luarnya.Gangguan
sensibilitas sedikit, BTA ( + ) pada sediaan apus kerokan jaringan kulit dan
uji lepromin ( - ).
d.
BL (borderline lepromatous)
Lesi infiltrat eritematosa dalam jumlah banyak, ukuran bervariasi,
bilateral tapi asimetris, gangguan sensibilitas sedikit/( - ), BTA ( + )
banyak, uji Lepromin ( - ).
e.
LL (lepromatosa)
Lesi infiltrat eritematosa dengan permukaan mengkilat,
ukuran kecil, jumlah sangat banyak dan simetris. BTA ( + ) sangat banyak pada
kerokan jaringan kulit dan mukosa hidung, uji Lepromin ( - ).
Sedangkan
departemen kesehatan Dirjen P2MPLP (1999) dan WHO (1995) membagi kusta menjadi dua
tipe, yaitu :
a.
Pansi Basiler (PB) : I, TT, BT
b.
Multi Basiler (MB) : BB, BL, LL
7. Pemeriksaan Penunjang
a.
Tes Lepromin
Menentukan klasifikasi dan tipe kusta, Dikenal ada 2 macam
lepromin yaitu:
1)
Lepromin mitsuda H
2)
Lepromin dharmendra
b.
Bacterioskopis
Secara mikroskopis dapat ditemukan Batang utuh
(solid) atau Batang terputus (fragmented)
c.
Bacterial Indeks (BI)
Ukuran semi kuantitatif kepadatan basil kusta
dari sediaan kulit yang diperiksa. Yang dihitung adalah jumlah rata-rata dari
basil hidup dan mati yang diambil dari beberapa tempat.
Kegunaan BI adalah :
1)
Membantu menegakkan diagnosis
2)
Membantu menetukan klasifikasi atau membantu
menentukan tipe kusta
3)
Membantu menilai berat ringannya daya infeksi
pada kulit dan bukan untuk menentukan/ menilai hasil pengobatan tang efektif
d.
Morphological Indeks
Adalah merupakan prosentase basil kusta yang
bentuk solid dibanding semua hasil yg dihitung.
Kegunaan MI adalah :
1)
Membantu kemajuan pengobatan/menilai
efektifitas obat-obatan
2)
Menentukan resistensi basil terhadap obat,
serta dapat menular atau tidaknya kusta.
8.
Penatalaksaan
a. Penatalaksanaan Keperawatan
Penatalaksaan keperwatan dilakukan berdasarkan intervensi dari
diagnosa keperawatan yang diangkat.
b.
Penatalaksanaan Medis
Pasien diberikan beberapa jenis obat kusta,
yaitu :
1)
Obat primer
Dapsone, clofasimin,
rifampisin, etionamide, prothionamide.
2)
Obat sekunder
INH, streptomycine.
Dosis menurut
rekomendasi WHO, adalah :
1)
Kusta Paubacillary (Tipe I, BT, TT)
Dapsone : 1 x 100 mg tiap hari
Rifampisin : 1 x 600 mg tiap bulan
Pengobatan harus diberikan 6 bulan
berturut-turut atau 6 dosis dalam 9 bulan dan diawasi selam 2 tahun.
2)
Kusta Multibacillary (tipe BB, BL, LL)
Dapsone : 1 x 100 mg tiap bulan
Rifampisin : 1 x 600 mg tiap hari
Clofazimine : 1 x 300 mg tiap bulan (hari
pertama) kemudian dilajutkan dengan 1 x 50 mg/hari
Pengobatan 24 bulan berturut-turut dan diawasi
± 5 tahun
9. Komplikasi
Cacat merupakan komplikasi yang dapat terjadi pada pasien
kusta akibat kerusakan fungsi saraf tepi maupun karena neuritis sewaktu terjadi
reaksi kusta.
B. Asuhan Keperawatan
1.
Pengkajian
a. Identitas
Dalam identitas biasanya mencakup nama, umur,
alamat, pekerjaan, No. MR, agama dan lain-lain yang dianggap perlu.
b. Riwayat
Penyakit Sekarang
Biasanya klien
dengan morbus hansen datang berobat dengan keluhan adanya lesi dapat tunggal
atau multipel, neuritis (nyeri tekan pada saraf) kadang-kadang gangguan keadaan
umum penderita (demam ringan) dan adanya komplikasi pada organ tubuh.
c. Riwayat
Kesehatan Masa Lalu
Pada klien
dengan morbus hansen reaksinya mudah terjadi jika dalam kondisi lemah,
kehamilan, malaria, stres, sesudah mendapat imunisasi
d. Riwayat
Kesehatan Keluarga
Morbus hansen
merupakan penyakit menular yang menahun yang disebabkan oleh kuman kusta (
mikobakterium leprae) yang masa inkubasinya diperkirakan 2-5 tahun. Jadi salah
satu anggota keluarga yang mempunyai penyakit morbus hansen akan tertular.
e. Riwayat
Psikososial
Fungsi tubuh
dan komplikasi yang diderita. Klien yang menderita morbus hansen akan malu
karena sebagian besar masyarakat akan beranggapan bahwa penyakit ini merupakan
penyakit kutukan, sehingga klien akan menutup diri dan menarik diri, sehingga
klien mengalami gangguan jiwa pada konsep diri karena penurunan
f. Pola
Aktivitas Sehari-hari
Aktifitas
sehari-hari terganggu karena adanya kelemahan pada tangan dan kaki maupun
kelumpuhan. Klien mengalami ketergantungan
pada orang lain dalam perawatan diri karena kondisinya yang tidak memungkinkan.
g. Pemeriksaan
Fisik
1) Keadaan umum klien biasanya dalam keadaan demam karena reaksi berat pada
tipe I, reaksi ringan, berat tipe II morbus hansen. Lemah karena adanya
gangguan saraf tepi motorik.
2) Sistem penglihatan
Adanya gangguan
fungsi saraf tepi sensorik, kornea mata anastesi sehingga reflek kedip
berkurang jika terjadi infeksi mengakibatkan kebutaan, dan saraf tepi motorik
terjadi kelemahan mata akan lagophthalmos jika ada infeksi akan buta. Pada
morbus hansen tipe II reaksi berat, jika terjadi peradangan pada organ-organ
tubuh akan mengakibatkan irigocyclitis. Sedangkan pause basiler jika ada bercak
pada alis mata maka alis mata akan rontok.
3) Sistem pernafasan
Klien dengan
morbus hansen hidungnya seperti pelana dan terdapat gangguan pada tenggorokan.
4) Sistem persarafan
·
Kerusakan
fungsi sensorik
Kelainan fungsi
sensorik ini menyebabkan terjadinya kurang/ mati rasa. Alibat kurang/ mati rasa
pada telapak tangan dan kaki dapat terjadi luka, sedang pada kornea mata
mengkibatkan kurang/ hilangnya reflek kedip.
·
Kerusakan
fungsi motorik
Kekuatan otot
tangan dan kaki dapat menjadi lemah/ lumpuh dan lama-lama ototnya mengecil
(atropi) karena tidak dipergunakan. Jari-jari tangan dan kaki menjadi bengkok
dan akhirnya dapat terjadi kekakuan pada sendi (kontraktur), bila terjadi pada
mata akan mengakibatkan mata tidak dapat dirapatkan (lagophthalmos).
·
Kerusakan
fungsi otonom
Terjadi
gangguan pada kelenjar keringat, kelenjar minyak dan gangguan sirkulasi darah
sehingga kulit menjadi kering, menebal, mengeras dan akhirnya dapat
pecah-pecah.
5) Sistem muskuloskeletal
Adanya gangguan
fungsi saraf tepi motorik adanya kelemahan atau kelumpuhan otot tangan dan
kaki, jika dibiarkan akan atropi.
6) Sistem integumen
Terdapat
kelainan berupa hipopigmentasi (seperti panu), bercak eritem (kemerah-merahan),
infiltrat (penebalan kulit), nodul (benjolan). Jika ada kerusakan fungsi otonom
terjadi gangguan kelenjar keringat, kelenjar minyak dan gangguan sirkulasi
darah sehingga kulit kering, tebal, mengeras dan pecah-pecah. Rambut: sering
didapati kerontokan jika terdapat bercak.
2.
Diagnosa
Keperawatan
a. Kerusakan integritas kulit yang berhubungan dengan lesi dan proses
inflamasi
b. Gangguan rasa nyaman, nyeri yang berhubungan dengan proses inflamasi
jaringan
c. Intoleransi aktivitas yang berhubungan dengan kelemahan fisik
d. Gangguan konsep diri (citra diri) yang berhubungan dengan ketidakmampuan
dan kehilangan fungsi tubuh.
3.
Intervensi keperawatan
No.
|
Diagnosa Keperawatan
|
NOC
|
NIC
|
1.
|
Kerusakan integritas kulit yang
berhubungan dengan lesi dan proses inflamasi
|
Tujuan :
Kerusakan
integritas kulit dapat teratasi
KH
:
a. Area terbebas dari infeksi lanjut
b. Kulit bersih, kering, lembab
|
a.
Kaji keadaan kulit
b.
Kaji keadaan umum dan observasi TTV
c.
Kaji perubahan warna kulit
d.
Pertahankan agar daerah yang terinfeksi tetap bersih dan
kering
e.
Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian obat – obatan
|
2.
|
Gangguan rasa nyaman, nyeri
yang berhubungan dengan proses inflamasi jaringan
|
Tujuan :
Nyeri
teratasi
KH :
a. Klien merasa nyaman
b. Tidak ada nyeri
|
Manajement
nyeri :
a. Kaji nyeri secara komprehensif meliputi
lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas dan factor presipitasi
b. Observasi reaksi non verbal dan
tidak kenyamanan
c. Ajarkan teknik non farmakologi
d. Anjurkan pasien tingkatkan
istirahat dan tidur
e. Berikan analgesic untuk mengurangi
nyeri
|
3.
|
Intoleransi aktivitas yang
berhubungan dengan kelemahan fisik
.
|
Tujuan :
Kelemahan fisik teratasi
KH :
Dapat melakukan aktivitas
sehari-hari
|
a.
Menentukan penyebab toleransi aktivitas
b.
Berikan periode aktivitas selama beraktivitas
c.
Pantau respon kardiopulmonal
d.
Monitor dan catat kemamapuan melakukan aktivitas
e.
Tingkatkan aktivitas secara bertahap
|
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil pembahasan pada makalah
yang kami buat, dapat di simpulkan sebagai berikut :
Kusta merupakan penyakit menahun
yang menyerang syaraf tepi, kulit dan organ tubuh manusia yang dalam jangka
panjang mengakibatkan sebagian anggota tubuh penderita tidak dapat berfungsi sebagaimana
mestinya.
Klasifikasi bentuk-bentuk penyakit
kusta yang banyak dipakai dalam bidang penelitian adalah klasifikasi menurut
Ridley dan Jopling yang mengelompokkan penyakit kusta menjadi 5 kelompok
berdasarkan gambaran klinis, bakteriologis, histopatologis dan imunologis.
Sekarang klasifikasi ini juga secara luas dipakai di klinik dan untuk
pemberantasan yaitu tipe tuberkoloid (TT), tipe borderline tubercoloid (BT),
Tipe mid borderline (BB), Tipe borderline lepromatosa, tipe lepromatosa (LL)
Tanda-tanda penyakit kusta
bermacam-macam, tergantung dari tingkat atau tipe dari penyakit tersebut. Di
dalam tulisan ini hanya akan disajikan tanda-tanda secara umum tidak terlampau
mendetail.
Penyebab kusta adalah kuman mycobacterium
leprae. Dimana microbacterium ini adalah kuman aerob, tidak membentuk
spora, berbentuk batang, dikelilingi oleh membran sel lilin yang merupakan ciri dari
spesies Mycobacterium, berukuran panjang 1 – 8 micro,
lebar 0,2 – 0,5 micro biasanya berkelompok dan ada yang tersebar satu-satu,
hidup dalam sel dan bersifat tahan asam (BTA) atau gram positif,tidak mudah diwarnai namun jika
diwarnai akan tahan terhadap dekolorisasi oleh asam atau alkohol sehingga oleh
karena itu dinamakan sebagai basil “tahan asam”.
Penyakit kusta dapat ditularkan dari
penderita kusta tipe multi basiler (MB) kepada orang lain dengan cara penularan
langsung. Penularan yang pasti belum diketahui, tapi sebagian besar para ahli
berpendapat bahwa penyakit kusta dapat ditularkan melalui saluran pernapasan
dan kulit.
Metode penanggulangan ini terdiri
dari : metode pemberantasan dan pengobatan, metode rehabilitasi yang terdiri
dari rehabilitasi medis, rehabilitasi sosial, rehabilitasi karya dan metode
pemasyarakatan yang merupakan tujuan akhir dari rehabilitasi, dimana penderita
dan masyarakat membaur sehingga tidak ada kelompok tersendiri.
B. Saran
Agar pemerintah lebih meningkatkan
upaya penyuluhan mengenai penyakit menular khususnya penyakit kusta.
Agar tugas pembuatan makalah seperti
ini lebih sering diberikan agar dapat menambah pengetahuan bagi mahasiswa dan
pembaca.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar